Sikap tegas dari PB Pertina DKI Jakarta yang menolak memberikan izin terhadap pertarungan antara El Jalaludin Rumi atau yang akrab disapa dengan El dengan pengacara kondang Farhat Abbas mendapat tanggapan positif dari banyak pihak.
Semula begitu besar perhatian masyarakat yang menantikan terwujudnya
rencana sparing partner di atas ring tersebut. Ada yang mendukung, namun
banyak pula yang kontra terhadap rencana duel tersebut.
Rencana pertarungan di atas ring itu sendiri dilayangkan oleh El sebagai bentuk jawaban atas berbagai kritikan yang dilontarkan Farhat terhadap ayahnya, musisi Ahmad Dhani lewat jejaring sosial media Twitter.
Tindakan El yang melayangkan tantangan terhadap Farhat
dalam pandangan Diennaryati Tjokro Suprihartono, psikolog Universitas
Indonesia dianggap sebagai bentuk agresifitas yang sebenarnya tidak
perlu untuk dilanjutkan. Apalagi jika membawanya ke dalam sebuah
pertarungan dengan nuansa dendam.
Lebih lanjut Diennaryati mengatakan, "Memang dapat dimengerti darah muda
yang sedang marah dan ingin menuntaskannya dengan cara 'lelaki'. Tapi
cara itu bukanlah cara yang tepat, mengingat Farhat Abbas jauh lebih tua dari Al dan El.
Cara-cara yang bernuansa balas dendam dengan cara yang bernuansa
kekerasan akan mengukuhkan perilaku agresifitas pada anak anak jika
dibiarkan," papar Psikolog Universitas Indonesia.
Diennaryati juga menyarankan agar Ahmad Dhani dan Maia Esthianty sebagai orangtua dapat duduk bersama dengan Al dan El guna memberikan pandangan yang bijak.
"Anak-anak perlu diberitahukan kalau masih ada cara lain yang lebih
bijak dalam mengatasi masalah mereka, misalnya dengan menggunakan jalur
hukum, atau membicarakannya secara etis, secara langsung. Atau paling
tidak menggunakan jalur pribadi," ungkapnya.
Menurut Diennaryati ada beberapa point penting yang bisa di petik sebagai pelajaran di balik batalnya pertarungan antara El dengan Farhat Abbas.
"Yang pertama, sebagai orang dewasa selayaknya berkata dan bertindak
sesuai dengan kedewasaannya dan bertanggung jawab. Jika masih mengikuti
dorongan emosinya tanpa berfikir matang matang dampak dari perbuatannya
akan menjadi preseden dan contoh yang buruk bagi masyarakat. Cara-cara
yang tidak dewasa tidak akan menyelesaikan masalah," tuturnya.
Sementara pada poin kedua, Diennaryati mencatat bahwa penggunaan sosial
media untuk masalah pribadi atau menyerang pribadi orang lain akan lebih
banyak berakibat buruk daripada memberikan pendidikan untuk
menyadarkannya.
Yang berkembang adalah terbentuknya defense mechanism pada kedua belah
pihak yang berseteru semata untuk mempertahankan harga dirinya dan bukan
untuk mendapatkan penyadaran atau hikmah yang lebih baik.
Sedangkan untuk faktor ketiga, dari batalnya pertarungan tersebut
Diennaryati punya pendapat. "Kekerasan yang ditawarkan dalam
menyelesaikan masalah bukan akan menyelesaikan masalah tersebut tetapi
akan menciptakan masalah baru," ujarnya.
Faktor terakhir, menurut Diennaryati adalah pentingnya peran orang tua
untuk membantu anak-anak remaja yang memang masih dalam taraf
perkembangan mencari identitas diri agar mereka mempertimbangkan
perbuatannya untuk tidak melakukan kegiatan yang justru akan berdampak
kurang menguntungkan karena menggunakan cara yang kurang bijak dalam
menyelesaikan masalah.
"Sikap Al dan El dalam membela nama baik orangtua adalah hal yang positif namun ada hal lain yang perlu digarisbawahi," ujarnya.
"Mereka (El dan Al) berani membela orang tuanya, namun caranya yang belum tepat karena memperturutkan agresifitas dan dorongan emosinya belaka. Akibatnya, sopan santun terhadap orang yang lebih tua terabaikan karena yang lebih tua juga memberi contoh yang tidak sopan. Sebab jika caranya tidak memperoleh penanganan segera, akan menjadi pembenaran bahwa cara yang bernuansa agresif itu merupakan cara yang benar dan bisa ditempuh. Padahal sangat keliru. Apalagi remaja yang sedang mencari identitas diri dan sedang belajar bersikap untuk menuju pendewasaan," paparnya.
"Mereka (El dan Al) berani membela orang tuanya, namun caranya yang belum tepat karena memperturutkan agresifitas dan dorongan emosinya belaka. Akibatnya, sopan santun terhadap orang yang lebih tua terabaikan karena yang lebih tua juga memberi contoh yang tidak sopan. Sebab jika caranya tidak memperoleh penanganan segera, akan menjadi pembenaran bahwa cara yang bernuansa agresif itu merupakan cara yang benar dan bisa ditempuh. Padahal sangat keliru. Apalagi remaja yang sedang mencari identitas diri dan sedang belajar bersikap untuk menuju pendewasaan," paparnya.
Lebih jauh Diennaryati mengemukakan bahwa kebiasaan remaja untuk saling
meniru akan berakibat pada ditirunya perilaku dengan nuansa agresif
tersebut di kalangan remaja.
"Wah baku hantam akan semakin marak sebagai upaya pembenaran. Dari baku
hantam individu, dapat semakin meluas menjadi tawuran massal seperti
yang sekarang sudah menjadi persoalan," tutup Diennaryati.
Leave a Reply :
0 comments:
Post a Comment
BIASAKAN MEMBERIKAN KOMENTAR YANG BAIK DAN SOPAN